Senin, 10 Oktober 2011

tugas softskill etika profesi akuntansi

1. BERILAH CONTOH PELANGARAN ETIKA DAN SANGSI HUKUM YG BERLAKU DI INDONESIA MIN 3
A. contoh kasus pelanggaran etika bisnis : maraknya peredaran makanan dengan zat pewarna berbahaya
Maraknya Peredaran Makanan Dengan Zat Pewarna Berbahaya
DEPOK - Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan Kota Depok menyebutkan, sebanyak tujuh pasar tradisional di Depok terbukti menjual bahan pangan yang mengandung zat berbahaya.Sebelum diuji, Dinkes mengambil sample di puluhan pedagang di pasar tradisional dengan menggunakan enam parameter bahan tambahan yaitu, boraks, formalin, rodhamin, methanil yellow (pewarna tekstil), siklamat (pemanis buatan), serta bakteri makanan.Kepala Seksi Pengawasan Obat dan Makanan Dinas Kesehatan Kota Depok, Yulia Oktavia mengatakan, enam parameter tambahan pangan berbahaya tersebut dilarang digunakan untuk campuran makanan lantaran akan menyebabkan penyakit kanker dalam jangka panjang serta keracunan dalam jangka pendek. "Harus nol sama sekali seluruhnya, karena sangat berbahaya bagi kesehatan." Ujar Yulia kepada okezone, Sabtu (3/10/2009).Yulia menambahkan, makanan yang dijual para pedagang di pasar dan terbukti menggunakan bahan tambahan pangan berbahaya di antaranya, mie basah, bakso, otak-otak, kwetiau, tahu kuning, pacar cina, dan kerupuk merah."Yang paling parah ada kerupuk merah atau kerupuk padang yang biasa digunakan di ketupat sayur, itu ada di lima pasar, dan terbukti menggunakan rodhamin atau pewarna tekstil," paparnya.Langkah selanjutnya, kata Yulia, pihaknya akan mengumpulkan seluruh pedagang untuk dibina mengenai keamanan pangan dan makanan jajanan sehat. Setelah itu, baru diterapkan sanksi hukum pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Keamanan Pangan. Sanksinya bisa berupa kurungan penjara.Tujuh pasar yang terbukti menjual pangan mengandung bahan tambahan pangan berbahaya diantaranya, Pasar Musi, Dewi Sartika, Mini, Sukatani, Cisalak, Kemiri Muka, dan Depok Jaya. Sebagian di antaranya, berasal dari produsen di daerah Depok maupun Bogor.
Keberadaan peraturan daerah (perda) tentang makanan dan minuman yang diperbolehkan dijual di kantin sekolah tidak menjamin hilangnya praktik-praktik ilegal penambahan zat campuran pada makanan anak-anak itu.Karena itu yang harus dikedepankan adalah penegakan payung hukum yang sudah ada. "Regulasi itu sudah ada, baik dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan menteri. Yang perlu adalah penegakan hukumnya," ujar Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail di Depok, Jawa Barat, Kamis (11/6/2009).Lontaran Nurmahmudi merupakan respons atas wacana perlunya dibuat perda khusus tentang jajanan di sekolah lantaran maraknya praktik penambahan bahan tambahan makanan yang berbahaya dalam jajanan sekolah. Nurmahmudi menjelaskan, Menteri Kesehatan pada tahun 1987 telah mengeluarkan peraturan tentang bahan-bahan yang boleh digunakan sebagai bahan makanan tambahan. Karena itu, pemerintah tinggal melakukan pembinaan kepada produsen maupun konsumen.Yang menjadi tantangan, tambah Nurmahmudi, adalah melakukan pengawasan terhadap para produsen. Jika industri makanan tersebut legal, dalam artian alamat pabriknya jelas dan memiliki izin usaha, maka pemerintah bisa dengan mudah melakukan pembinaan. "Yang jadi masalah kalau produk itu tidak berlabel, tidak beralamat, maka perlu kerja keras dari berbagai pihak," katanya.Ke depannya, Nurmahmudi berjanji pemeriksaan jajanan di Depok tidak hanya terbatas pada jajanan anak SD saja. Tapi juga akan merambah kantin-kantin di perkantoran. "Untuk sementara kita pilih anak SD karena ini bagian dari upaya menyelamatkan generasi ke depan," jelasnya.Dinas Kesehatan Depok beberapa hari lalu melakukan pengambilan sampel jajanan ke 30 kantin SD di Kota Depok. Hasilnya 30 persen sampel positif mengandung boraks, 16 persen mengandung formalin, tiga persen mengandung siklamat, metanil yellow, dan rodamin. Untuk bahan boraks umumnya ditemukan pada produk krupuk putih, bakso, dan nuggets.Sementara zat formalin ditemukan pada nugget dan mie. Zat siklamat yang jumlahnya melebihi takaran ada pada produk es sirup dan es mambo. Untuk zat metanil yellow (pewarna kuning) dan rodamin (pewarna merah) atau yang lebih dikenal sebagai pewarna tekstil ditemukan pada permen karet.
( sumber : OkeZone.com )

B. Sudah pernah dengar tentang blog? Bahkan mungkin sudah tidak asing lagi dengan blog karena sehari-hari sudah menggunakan blog. Penyalahgunaan blog juga merupakan bentuk pelanggaran etika dan moral. Seperti pada berita berikut :
Banyak blogger yang ditangkap dikarenakan pembongkaran kasus seperti kasus HAM, mengkritik pemerintah.  Sejak tahun 2003 sebanyak 64 blogger telah ditangkap karena pandangan mereka, kata Universitas Washington dalam laporan tahunan. Pada tahun 2007 sebanyak 36 blogger juga ditangkap karena menulis tentang dunia politik pada tahun 2006.
Lebih dari setengah penangkapan terhadap blogger sejak tahun 2003 dilakukan oleh Negara China, Mesir, Iran. Warga Negara sudah ditangkap dan dipenjara karena blogging dengan topik berbeda, kata World Information Access (WIA).
Blogger yang ditangkap karena membongkar korupsi dalam pemerintahaan, penyalahgunaan HAM. Mereka mengkritik kebijaksanaan politik. Dilaporkan bahwa penangkapan cenderung ditingkatkan terutama pada waktu “ketidakpastian politis”, seperti pada waktu pemilihan umum dan protes besar-besaran.
Blogger yang ditangkap rata-rata dihukum dengan 15 bulan penjara, sedangkan hukuman terlamanya adalah 8 tahun yang ditemukan WIA. WIA mengakui bahwa jumlah blogger yang ditangkap bisa jauh lebih tinggi jumlahnya karena susah memverifikasi jika terjadi penangkapan terhadap blogger. Sebagai contoh panitia yang bertugas melindungi blogger telah memberikan informasi sekitar 344 orang ditangkap di Myanmar. Kebanyakan dari mereka diperkirakan adalah blogger, tetapi WIA tidak dapat memverifikasi semua laporan tersebut.
Tercatat lebih dari 30 negara memaksakan pembatasan teknologi pada orang-orang termasuk blogger. Di Negara China orang-orang dipersulit dalam pembuatan blog sebagai alat protes. Laporan menujukan bahwa tidak hanya pemerintah di timur tengah dan timur asia yang sudah bertindak berlawanan dengan pendapat online mereka.
Dalam empat tahun terakhir Britania, Prancis, Kanada dan Amerika terdapat penangkapan terhadap blogger. Laporan memperkirakan banyak blogger yang ditangkap pada tahun 2008 akan melebihi jumlah 36 pada tahun 2007.
Sumber berita tentang penangkapan blogger pada  tulisan ini : Andi Gunawan,FTI – Universitas Atma Jaya

C. Dasar-dasar Etika Periklanan – Bagian 2

Bagian ke 2 ini akan lebih fokus pada asas swakramawi yang dianut oleh masyarakat periklanan dunia. Akan diulas apa itu asas swakramawi (self-regulation) dan apa saja dampak/konsekuensi dari asa swakramawi tersebut.Tulisan ini mengacu pada isi dari kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang dapat diunduh di www.p3i-pusat.com.

Pertanyaan-pertanyaan yang sering penulis terima pada saat membahas masalah etika periklanan antara lain adalah:
  1. “OK, bagus sudah ada panduan etika dalam industri periklanan, tapi kok mengapa masih banyak iklan yang melanggar ya?”
  2. “OK, saya sudah tahu ada panduan etika periklanan, lalu kalau saya melanggarnya, apa sih sanksinya?”
  3. “Setahu saya, kalau melanggar etika itu ya paling sanksinya cuma sanksi sosial kan? Apakah itu efektif?”
  4. “Mengapa panduan etika itu tidak dijadikan bagian dari peraturan pemerintah atau sekalian dijadikan Undang-Undang Periklanan sehingga orang akan lebih takut akan sanksinya?”
Dan mungkin masih banyak pertanyaan-pertanyaan senada lainnya. Bagian ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut, walaupun tidak secara runut. Pembahasan mengenai swakramawi (self-regulation) ini sangat penting artinya dalam memahami bagaimana kita (praktisi periklanan/pemasaran dan masyarakat pada umumnya) bersikap dalam menilai industri periklanan ini.

Pengertian Asas Swakramawi
Prinsip swakramawi (self-regulation) adalah prinsip yang dipakai secara universal dalam industri periklanan. Secara sederhana, swakramawi dalam industri periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa: “suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri.”
Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 4 (empat) alasan utama penerapan asas swakramawi tersebut:
(i)        Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka.
(ii)      Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bermasyarakat.
(iii)     Swakrama dapat meniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan.
(iv)    Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain.

Dalam salah satu teori Psikologi Sosial mengenai perkembangan kepribadian dan tingkat kedewasaan manusia dikenal istilah locus of control (diperkenalkan oleh Julian B. Rotter pada tahun 1954) yang pengertian ringkasnya adalah (dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Locus_of_control):
One's "locus" (Latin for "place" or "location") can either be internal (meaning the person believes that they control their life) or external (meaning they believe that their environment, some higher power, or other people control their decisions and their life).
Individuals with a high internal locus of control believe that events result primarily from their own behavior and actions. Those with a low internal locus of control believe that powerful others, fate, or chance primarily determine events.
Those with a high internal locus of control have better control of their behavior, tend to exhibit more political behaviors, and are more likely to attempt to influence other people than those with a high external (or low internal respectively) locus of control. Those with a high internal locus of control are more likely to assume that their efforts will be successful. They are more active in seeking information and knowledge concerning their situation.
Internals tend to attribute outcomes of events to their own control. Externals attribute outcomes of events to external circumstances. For example, college students with a strong internal locus of control may believe that their grades were achieved through their own abilities and efforts, whereas those with a strong external locus of control may believe that their grades are the result of good or bad luck, or to a professor who designs bad tests or grades capriciously; hence, they are less likely to expect that their own efforts will result in success and are therefore less likely to work hard for high grades. (It should not be thought however, that internality is linked exclusively with attribution to effort and externality with attribution to luck). This has obvious implications for differences between internals and externals in terms of their achievement motivation, suggesting that internal locus is linked with higher levels of Need for achievement.
Internals were believed by Rotter (1966) to exhibit two essential characteristics: high achievement motivation and low outer-directedness.

Mengacu pada teori locus of control di atas, berarti asas swakramawi adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan internal locus of control dalam industri periklanan. Pendekatan inilah yang dipercaya akan dapat mendewasakan industri ini dan sekaligus meningkatkan produktifitas dan “kedewasaan” industri ini.
Dalam konteks pengembangan internal locus of control ini, maka tugas utama kita yang berada dalam industri periklanan bukanlah memikirkan sanksi bagi pelanggar etika tapi lebih pada edukasi, sosialisasi dan koordinasi dari segenap komponen dalam industri periklanan.

Etika dan Hukum Positif
Masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui kaitan etika dengan hukum positif. Ke dua hal ini seringkali dilihat secara terpisah, padahal ke duanya sangat terikat erat satu sama lain. Secara teoritis, dilihat dari sisi luasnya cakupan, etika seharusnya selalu lebih luas cakupannya daripada hukum positif (ya, etika yang lebih luas, bukan hukum positif!). Hukum adalah himpunan bagian dari etika. Pengertiannya adalah: hukum positif adalah sesuatu yang dibuat karena pemerintah (hanya pemerintah/negara yang dapat menyusun hukum positif) bahwa pedoman perilaku yang ada pada etika dinilai perlu ditulis dalam suatu dokumen resmi negara berikut sanksi yang tegas. Dalam situasi ideal, hukum positif tidaklah mencakup semua aspek yang ada pada cakupan etika. Seseorang dapat saja tidak sejalan dengan etika tanpa harus otomatis dinilai melanggar hukum positif. Tapi, setiap pelanggaran terhadap hukum positif adalah otomatis merupakan tindakan yang tidak etis.
Contoh sederhana untuk menggambarkan hubungan etika dengan hukum positif: sebagai seorang dosen, penulis menggunakan celana pendek, kaos oblong dan sendal jepit saat mengajar. Perilaku tersebut pasti akan dinilai tidak etis oleh manajemen perguruan tinggi tersebut. Tapi tindakan tersebut pastinya tidak melanggar hukum positif manapun. Seorang dosen yang mengajar sambil merokok, padahal perguruan tinggi tersebut sudah menerapkan aturan pemerintah mengenai area bebas merokok berarti melanggar hukum positif sekaligus melanggar etika perguruan tingginya.
Dalam dunia periklanan, sangat disayangkan (pendapat pribadi penulis) bahwa kondisi teoritis antara etika dan hukum positif tersebut sudah sangat kacau balau. Banyak undang-undang di Indonesia yang mengacau balaukan antara area cakupan etika dan area cakupan hukum positif. Salah satu contoh yang dapat disajikan di sini adalah kutipan dari UU RI No. 8/1999, tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang  melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.”
Ya, pelanggaran etika periklanan di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum positif (dalam UU RI No. 8/1999 tercantum pada pasal 62 ayat 2 berupa ”pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)”).
Sebagai penganut swakramawi, kita pantas bersedih dengan kondisi ini karena aturan ini telah memindahkan locus of control industri periklanan dari internal menjadi eksternal! Pelanggaran etika iklan dapat dilihat bukan lagi sebagai ketakutan atas ketidak-dewasaan dirinya sendiri tapi lebih takut karena adanya sanksi hukum dari pemerintah.
Marilah kita ”mengabaikan” adanya aturan-aturan pemerintah mengenai periklanan tersebut dan mari kita lebih fokus pada pedoman etika (Etika Pariwara Indonesia) yang dibentuk oleh para praktisi pemasaran dan periklanan di Indonesia! Mari kita lebih fokus pada penegakkan etika karena kita harus tetap yakin bahwa hanya industri kitalah yang paling mengetahui kondisi industri kita ini dan hanya kitalah yang dapat meneggakkan aturan-aturan internal kita sendiri. Toh, secara otomatis, setiap pelanggaran terhadap hukum positif adalah tindakan yang tidak etis.
Dalam pemahaman ini, penulis berprinsip penyusunan Undang-Undang Periklanan adalah sama-sekali tidak relevan. Meskipun dalam penyusunan UU tersebut pihak industri akan dimintakan pendapatnya, tidak dapat dipungkiri, UU tersebut akan melibatkan stakeholders lain; yaitu kalangan politisi seperti berbagai pejabat di berbagai departemen kementerian, berbagai partai politik dan komisi di DPR. Industri kita tidak akan dapat sepenuhnya mengontrol apa yang diinginkan oleh para stakeholders di luar industri periklanan ini!
Dari sudut lain, penulis percaya bahwa setiap UU otomatis menimbulkan kondisi high-cost economy! Selain proses penyusunannya yang akan memakan banyak waktu dan biaya, penegakkannya juga pastinya akan menimbulkan biaya-biaya yang sebenarnya seluruh biaya-biaya tersebut dibebankan kepada masyarakat melalui iuran pajak mereka! Belum lagi emotional cost yang harus ditanggung industri ini karena harus melakukan kompromi-kompromi dengan pihak-pihak yang sebenarnya berada di luar industri periklanan.
Dapat pula dianalogikan bahwa ”semakin banyak hukum positif berarti negara itu semakin banyak masalah”. Dan bagi yang percaya bahwa ”hukum dibuat untuk dilanggar” berarti ”semakin banyak hukum, semakin banyak pelanggaran”. Uhhh!! Negara yang ”tidak banyak aturan” berarti dihuni oleh masyarakat madani (civil society) yang mempunyai kekuatan moral dan etika yang kuat!

Sanksi
Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia (dapat diunduh gratis di www.p3i-pusat.com) bagian IV.E. disebutkan beberapa sanksi; yaitu:
1.       Bentuk sanksi terhadap pelanggaran memiliki bobot dan tahapan, sebagai berikut:
1.1    Peringatan, hingga dua kali
1.2    Penghentian penyiaran atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan

Tidak ada sanksi hukum di sini! Apakah akan efektif? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya berpulang kepada diri kita masing-masing. Etika hanya punya satu ”senjata” dalam kaitannya dengan sanksi; yaitu: rasa malu dan rasa bersalah! Seseorang (atau industri) yang dewasa adalah mereka yang menyadari kesalahannya dan malu untuk mengulangi kesalahan itu kembali. Seorang anak kecil (belum dewasa) lebih membutuhkan rasa takut dari pihak-pihak luar (orang-tua, sekolah dan sebagainya) untuk mencegah ia melakukan hal yang salah. Bukankah seorang dewasa seharusnya lebih mempunyai internal locus of control? Jadi, penilaian kita terhadap kedewasaan industri inilah yang akan menentukan apakah sanksi tersebut akan efektif ataukah tidak.
Seringkali kita mengabaikan sanksi sosial/organisasi yang dianggap ”terlalu ringan”. Padahal contoh-contoh yang ada di sekitar kita membuktikan hal yang sangat bertolak-belakang. Penulis akan coba sampaikan beberapa contoh untuk membuktikan bahwa pelanggaran etika dengan sanksi sosialnya jauh lebih kuat daripada sanksi hukum manapun juga.
Kasus pertama adalah jatuhnya regim Soeharto. Apakah pada saat Pak Harto mengundurkan diri posisi beliau adalah sebagai ”terdakwa pelanggaran hukum”? Sejarah mencatat bahwa pada saat itu tidak ada pelanggaran hukum apapun yang ia lakukan! Lalu kenapa ia mundur? Tekanan moral dan etika dari masyarakat!
Kasus ke dua justru menampilkan situasi yang sebaliknya; kasus Koin Prita. Pada saat muncul gerakan masyarakat mendukung Prita Mulyasari (dengan Koin Prita), apakah Prita seseorang yang ”benar” di mata hukum positif? Tidak! Pada saat itu, Prita adalah seorang terdakwa dan bahkan seorang yang telah diputuskan bersalah oleh hukum positif sehingga dikenakan sanksi pidana (denda dan tahanan). Apakah Prita di mata masyarakat (yang melihat dari sudut moral dan etika) juga menilai ia melakukan kesalahan? Tidak! Dukungan terhadap program Koin Prita membuktikan hal tersebut. Bahkan karena tekanan moral masyarakat tersebut sanksi pidana Prita dapat dicabut.
Ya, etika dapat merubah hukum positif, bukan sebaliknya. Hal ini membuktikan kekuatan etika dan moral masyarakat. Gejolak politik yang terjadi saat ini di Afrika, Timur Tengah serta bebeberapa negara teluk memberikan kita bukti-bukti kekuatan etika dan moral terhadap kekuatan hukum. Seorang Hosni Mobarak yang telah berkuasa selama 30 tahun adalah identik dengan hukum di negara Mesir.

2. APA KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PAHAM FUDEMONISME BILA DI TERAPKAN DI ERA GLOBALISASI
Prinsip pokok faham ini adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu (1) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan, (2) kemauaan, (3) perbuatan baik, dan (4) pengetahuan batiniah. 
 kelebihannya: 
1.tidak mementingkan diri sendiri saja atau personal
2. bisa memakmurkan semua masyarakat
3. bisa membahagiakan semua orang tidak hanya individual saja
kekurangan
 1. harus memiliki kekuasaan dulu baru bisa menggunakan paham ini

3. SEBUTKAN ETIKA KHUSUS YG ADA DI MASYARAKAT MIN 5
Jika etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, maka etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Jadi, etika khusus itu menerapkan prinsip-prinsip dasar pada masing-masing bidang kehidupan manusia (Magnis-Suseno, dkk, 1991:7). Karena sifatnya "menerapkan", maka etika khusus ini bisa juga dikatakan sebagai "etika terapan".
Dengan etika terapan dimaksudkan etika yang mencoba mem­bangun jembatan antara prinsip-prinsip moral dasar yang masih cukup abstrak dan umum yang diberikan oleh etika umum dan penanganan masalah-masalah moral konkret dalam praksis kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Etika sendiri sebagai cabang ilmu filsafat atau teologi sebenarnya sudah merupakan ilmu yang men­yangkut praksis kehidupan. Akan tetapi sifat terapannya masih dapat lebih dipertajam lagi dengan mencoba -- berdasarkan infor­masi yang diperoleh dari ilmu-ilmu khusus yang tersangkut -- memberikan prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang lebih operasional (Sudarminta, dalam Susanto, dkk, ed., 1992:21).
. Jenis Etika

Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika social dibagi menjadi:
1) Sikap terhadap sesama
2) Etika keluarga
3) Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi
4) Etika politik
5) Etika lingkungan hidup
6) Kritik ideologi Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangkan moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika dengan moralitas.