Minggu, 25 Desember 2011

tugas softskill etika profesi akuntansi ke 3


1.    Apa yg sodara ketahui tentang iai jelaskan dgn singkat
2.    Jelaskan 4 kebutuhan dasar yg harus di penuhi oleh sebuah profesi berilah contoh kasusnya

Jawaban
1.      Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata spritiual dan material berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karenanya, adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk berdarma bakti sesuai dengan profesi dan keahlian masing-masing.

Sejalan dengan itu, pengembangan profesi akuntan ditujukan untuk meningkatkan pengabdian profesi dalam Pembangunan Nasional, yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia dan Pembangunan Masyarakat Indonesia. Para akuntan menyadari perlunya dukungan secara sistematis dan tertib demi pemeliharaan serta peningkatan kompetensi profesionalnya, maka merasa perlu untuk dibina, dibimbing, difasilitasi, dan diingatkan secara profesional.

Dalam rangka pembinaan tersebut, perlu adanya wadah yang mewakili akuntan secara keseluruhan, menetapkan standar kualitas, mengembangkan dan menegakkan etika profesi, memelihara martabat dan kehormatan, membina moral dan integritas yang tinggi, mewujudkan kepercayaan atas hasil kerja profesi akuntan dan wadah komunikasi, konsultasi, koordinasi serta usaha-usaha bersama lainnya yang diperlukan. Menyadari akan hal tersebut maka para akuntan bergabung dalam wadah organisasi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia.

Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956.
Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia saja. Alasannya, mereka tidak mungkin menjadi anggota NIVA (Nederlands Institute Van Accountants) atau VAGA (Vereniging Academisch Gevormde Accountants). Mereka menyadari keindonesiaannya dan berpendapat tidak mungkin kedua lembaga itu akan memikirkan perkembangan dan pembinaan akuntan Indonesia.
Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju.
Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.
Susunan pengurus pertama terdiri dari:
Ketua
Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo
Panitera
Drs. Mr. Go Tie Siem
Bendahara
Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)
Komisaris
Dr. Tan Tong Djoe

Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)
Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah
1.    Prof. Dr. Abutari
2.    Tio Po Tjiang
3.    Tan Eng Oen
4.    Tang Siu Tjhan
5.    Liem Kwie Liang
6.    The Tik Him
Konsep Anggaran Dasar IAI yang pertama diselesaikan pada 15 Mei 1958 dan naskah finalnya selesai pada 19 Oktober 1958. Menteri Kehakiman mengesahkannya pada 11 Pebruari 1959. Namun demikian, tanggal pendirian IAI ditetapkan pada 23 Desember 1957. Ketika itu, tujuan IAI adalah:
1.    Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan.
2.    Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.
Sejak pendiriannya 49 tahun lalu, kini IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.
Misi
  • memelihara integritas, komitmen, dan kompetensi anggota dalam pengembangan manajemen bisnis dan publik yang berorientasi pada etika, tanggungjawab, dan lingkungan hidup;
  • mengembangkan pengetahuan dan praktek bisnis, keuangan, atestasi, non-atestasi, dan akuntansi bagi masyarakat; dan
  • berpartisipasi aktif di dalam mewujudkan good governance melalui upaya organisasi yang sah dan dalam perspektif nasional dan internasional.
Visi
Visi IAI adalah menjadi organisasi profesi terdepan dalam pengembangan pengetahuan dan praktek akuntansi, manajemen bisnis dan publik, yang berorientasi pada etika dan tanggungjawab sosial, serta lingkungan hidup dalam perspektif nasional dan internasional.

2.Kredibilitas adalah kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan. Aplikasi umum yang sah dari istilah kredibilitas berkaitan dengan kesaksian dari seseorang atau suatu lembaga selama konferensi. Kesaksian haruslah kompeten dan kredibel apabila ingin diterima sebagai bukti dari sebuah isu yang diperdebatkan.

Kredibilitas dari saksi atau pihak tergantung kepada kemampuan hakim atau juri (di negara yang menggunakan sistem juri) untuk mempercayai dan menyakini apa yang ia katakan, dan terkait dengan akurasi dari kesaksiannya sendiri terhadap logika, kebenarannya, dan kejujuran. Kredibilitas pribadi tergantung pada kualitas dari seseorang yang akan mengarahkan juri untuk percaya atau tidak percaya kepada apa yang ia katakan.

Contohnya, sebagai auditor, kita harus bisa dipercaya dalam mengabil keputusan, dengan data yang benar – benar akurat, dan mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin.

Profesionalisme (profesionalisme) adalah sifat-sifat (kemampuan, keterampilan, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang tepat terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional. [1] Profesionalisme berasal dari profesi yang berarti berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya , (KBBI, 1994). Jadi, profesionalisme adalah perilaku, keahlian atau kualitas dari seseorang yang profesional (Longman, 1987).

Contohnya, sebagai akuntan, kita harus bisa bekerja dengan benar, sesuai dengan standar yang telah dibuat dan selalu memuaskan pihak-pihak yang mempekerjakan kita.

Kepercayaan secara umumnya bermaksud akuan akan benarnya terhadap sesuatu hal. Biasanya, seseorang yang menaruh kepercayaan ke atas sesuatu pekara itu akan disertai oleh perasaan 'pasti' atau kepastian terhadap pekara yang berkenaan.

Kepercayaan dalam konteks psikologi adalah bermaksud suatu keadaan jiwa yang berhubungan dengan sikap berkedudukan-memihak (propositional attitude). Sedangkan dalam konteks agama pula, kepercayaan adalah bagian dari batu dasar pembangunan moral. Dalam konteks ini, kepercayaan disebut Akidah atau Iman.

Adapun kepercayaan itu dikatakan berhubungan dengan sikap berkedudukan-memihak, karena ia sentiasanya melibatkan penekanan, penuntutan, dan diharapkan dari seorang individu mengenai kebenaran sesuatu. Kebenaran yang dituntut itu mungkin sahih, dan mungkin palsu secara objektif, tetapi bagi individu yang berkenaan ia adalah sahih.

Contohnya, apa bila kita membuka usaa pengiriman barang, jasa kita harus bisa dipercaya, bang yang dititipkan ke kita harus kita sampaikan ke orang yang benar dengan tepat waktu, menjaga barang tersebut dalam kondisi baik,dan lain-lain yang akan membuat kita dipercaya oleh konsumen.

Kualitas atau mutu adalah tingkat baik buruknya atau taraf atau derajat sesuatu. Sedangkan dalam ilmu ekonomi, jasa adalah aktivitas ekonomi yang melibatkan sejumlah interaksi dengan konsumen atau dengan barang-barang milik, tetapi tidak menghasilkan transfer kepemilikan. Dan menurut Phillip Kotler adalah setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip intangibel dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Produksinya bisa terkait dan bisa juga tidak terikat pada suatu produk fisik.

Jadi menurut saya kualitas jasa adalah mutu atau baik buruknya dari tindakan aktivitas ekonomi manusia yang di berikan kepada konsumen atau pihak yang membutuhkan. Contohnya, dalam usaha salon, jasa perawatan yang di tawarkan haruslah memuaskan, sesuai dengan standar, agar konsumen puas.

Contoh penerapan moral pada bisnis :
1. Jangan pernah memberi buahan yang tdak layak pada pembeli, karena banyak penjual buah yang melakukan tindak kecurangan. Pada saat pembeli tidak meperatikan buahan yang dibelinya, penjual menukar kantong blanjaan dengan kantong yang terisi buah busuk.
2. Jangan hanya mementingan keuntungan dengan menjual ayam goreng yang ternyata bahan dasarnya ayam tiren.
3. Tidak melakukan persaingan yang merugikan, seperti menjelek – jelekan saingan kita di depan konsumen.

Selasa, 15 November 2011

tugas softskill etika profesi akuntansi 2


Tugas etika profesi akuntansi 2

1.    Berilah contoh penerapan etika dalam dunia bisnis pada era perdagangan bebas sekarang ini min. 5
2.   Sebutkan contoh dari situasi benturan kepentingan dalam dunia bisnis min. 5 dari 8 kategori
3.   Menurut pendapat sodara bisnis yg beretika dan moral seperti apa dan sebutkan alasanya

Jawaban
1.    * Pesan dari Presiden Direktur :
"Dimanapun kita bekerja, kejujuran, integritas, kepercayaan, saling menghargai dan kerjasama selalu menjadi dasar terciptanya dan selalu terjaganya reputasi bisnis yang sehat."

* Etika Bisnis terbagi atas tiga bagian :
o Nilai-nilai yang mendasari cara / proses bekerja di Perusahaan
+ Visi, misi dan nilai-nilai yang berlaku di Perusahaan yang harus dipelihara dengan selalu mempertahankan standar dalam berperilaku.
o Etika Bisnis sebagai pedoman cara kita berperilaku di Perusahaan
+ Tugas apa saja yang harus kita lakukan?
+ Tanggung jawab dari kita
+ Bagaimana kita harus berperilaku terhadap orang lain?
+ Pelaporan kecurangan, perilaku yang tidak jujur atau perilaku yang tidak pada tempatnya
+ Kecurangan, korupsi atau transaksi tidak wajar
+ Pertentangan kepentingan atau tugas
+ Yang harus dilakukan jika timbul pertentangan
+ Bolehkah menerima uang, hadiah atau jamuan?
+ Menggunakan Aset Perusahaan
+ Melakukan Pekerjaan Lain
+ Menggunakan Informasi
+ Informasi palsu atau menyesatkan
+ Memberikan Tanggapan di muka umum
+ Catatan dan Laporan Pembukuan
+ Undang-Undang dan peraturan lain
+ Jika keluar dari Perusahaan
+ Pelanggaran atas Etika Bisnis

* Pembagian
o Pedoman ini berlaku untuk seluruh direksi dan karyawan serta setiap pihak yang bekerja sama dengan CCBI.

* Persetujuan
o Direktur dan/atau atasan langsung karyawan (dengan jabatan minimal manager) Perusahaan (sesuai dengan tingkatan kasus) harus meninjau dan dapat memberikan persetujuan secara tertulis untuk setiap keadaan yang mensyaratkan ijin khusus.

* Memantau kepatuhan terhadap hukum
o Pengambilan segala langkah yang bertanggung jawab untuk mencegah pelanggaran Etika Bisnis dan Perusahaan akan melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk menjaga kerahasiaan identitas setiap orang yang melaporkan dugaan pelanggaran

* Penyidikan
o National Examiner & Account Receivable Manager dan/atau National Legal Manager and Corporate Secretary akan dilibatkan apabila diperlukan dalam proses penyidikan. Mereka akan bekerja sama dengan direktur atau manager dari karyawan yang melakukan pelanggaran untuk memberikan saran mengenai tindakan perbaikan dan disipliner.

* Tindakan disipliner
o Metode penanganan pelanggaran Etika Bisnis.

* Tandatangan dan pernyataan menerima Etika Bisnis
o Setiap direktur, karyawan dan pihak ketiga yang bekerjasama dengan Perusahaan harus menandatangani formulir pernyataan penerima yang menegaskan bahwa mereka telah membaca Pedoman Tata Cara Etika Bisnis dan memahami ketentuannya.

* Contoh-contoh perilaku dalam praktek

SUMBER (http://www.coca-colabottling.co.id/ina/ourcompany/index.php?act=etika)

b. Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Di dalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Perkembangan pesat teknologi setelah perang dunia kedua memacu dunia bisnis di negara - negara kapitalis menjadi semakin dinamis, tetapi sayangnya kurang disertai dengan pemikiran dan kesadaran moral para pelakunya, sehingga menimbulkan skandal - skandal bisnis yang merugikan masyarakat, seperti hancurnya enron dan Lehman Brothers. Oleh karena itu, sejak tahun 1970 - an, etika dalam dunia bisnis menjadi semakin sering dibicarakan dan dituntut realisasinya. Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG (Good Corporate Governance) diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan jika tidak ingin mengalami hal sama dengan kasus Enron maupun Lehman Brothers. Menurut hasil penelitian SWA (2005), PT Astra Internasional Tbk (AI) merupakan salah satu perusahaan publik yang telah menerapkan tata kelola perusahaan. Astra Internasional berhasil bertahan setelah menerapkan tata kelola perusahaan sejak tahun 1987 (21 tahun). Dengan pengalamannya selama kurang lebih 50 tahun dan penerapan etika bisnis perusahaan selama 21 tahun, maka menjadi pertimbangan yang menarik untuk lebih meneliti AI dilihat dari etika bisnis yang telah diterapkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan gambaran mengenai penerapan etika bisnis yang telah diterapkan perusahaan agar kasus Enron maupun Lehman Brother tidak terjadi di PT Astra Internasional, Tbk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan prinsip GCG, yaitu accountability, independency, transparency and disclosure, responsibility, serta fairness dan ditambah dengan honesty (kejujuran), ternyata bagi manajer dan karyawan outsourcing, honesty merupakan faktor yang paling diprioritaskan diantara prinsip - prinsip GCG lainnya. Prioritas selanjutnya adalah independency, transparency and disclosure, accountability, responsibility, dan terakhir adalah fairness. Tetapi bagi staff AI, ternyata prinsip terpenting adalah independency, dilanjutkan dengan responsibility lalu honesty. Penerapan etika dalam bekerja menempatkan kejujuran sebagai faktor yang paling diprioritaskan dan hampir semua responden mengatakan bahwa berpartisipasi dalam company event merupakan salah satu kegiatan perusahaan yang tidak harus menjadi prioritas utama, bahkan ditempatkan di pilihan terakhir dalam faktor penilaian etika dalam melaksanakan pekerjaan. Umumnya baik karyawan AI maupun karyawan outsourcing mengetahui bagaimana etika bisnis diterapkan yaitu melalui observasi lingkungan bekerja, dilanjutkan dengan mengetahui dari atasan. Untuk pemahaman terhadap nilai - nilai etika bisnis yang diterapkan oleh perusahaan, masih terdapat perbedaan pemahaman terutama dari faktor accountability, responsibility, serta transparency and disclosure. Perbedaan pemahaman ini masih dianggap wajar oleh perusahaan karena perbedaan tersebut lebih kepada perbedaan pola pikir masing - masing tingkat jabatan. Dalam penerapan terhadap nilai-nilai budaya perusahaan juga masih terdapat perbedaan pemahaman, yaitu jika menghadapi persoalan dan perasaan boleh menyatakan secara terbuka. Selanjutnya, nilai untuk melakukan sesuatu secara bekerjasama (teamwork) merupakan nilai tertinggi atau nilai yang dianggap paling penting oleh karyawan Astra Internasional, Tbk, sedangkan nilai terendah yang dianggap oleh karyawan Astra Internasional, Tbk adalah apa yang dipandang perlu oleh karyawan terkadang dipandang salah oleh manajer. Untuk manajer AI, nilai terendah adalah "seia - sekata" antara atasan dan bawahan dalam melakukan tindakan. Bagi karyawan outsourcing, nilai budaya perusahaan yang kurang dinilai baik oleh perusahaan adalah taktis, cerdik, dan sedikit curang adalah cara berpikir. Selanjutnya, terdapat hubungan baik antara etika bisnis, etika bekerja, dan budaya perusahaan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa masih terdapat perbedaan pemahaman baik terhadap penerapan nilai - nilai etika bisnis perusahaan maupun budaya perusahaan. Oleh karena itu, walaupun masih dianggap wajar oleh perusahaan, tetapi hal ini harus menjadi lampu kuning bagi perusahaan untuk terus memantau perbedaan pemahaman baik terhadap penerapan nilai - nilai etika bisnis perusahaan maupun budaya perusahaan. Pihak perusahaan bisa lebih mengkaji cara training awal yang telah diterapkan karena salah satu cara penyampaian nilai - nilai etika bisnis adalah melalui JTP (Job Training Program). Cara yang dapat dilakukan perusahaan yaitu (1) mempersiapkan trainees untuk lebih memahami mengenai filosofi etika bisnis dan usahakan agar trainees mencari sendiri pemahaman etika tersebut, (2) ciptakan pemahaman pentingnya etika individual sehingga diharapkan trainees juga dapat lebih memahami pentingnya penerapan etika bisnis, (3) ambil beberapa contoh penerapan etika bisnis yang realistik agar lebih mudah dipahami oleh para trainees, dan (4) latihan secara terus menerus. Selain itu, untuk meminimalisasikan perbedaan pemahaman antara manajer dan staff AI dapat dilakukan beberapa cara memelihara keharmonisan dan keseimbangannya dalam hubungan kerja dan hubungan pribadi, membina semangat kebersamaan pada seluruh anggota organisasi dengan pertemuan - pertemuan informal di dalam internal organisasi, memberikan kesempatan dan tanggapan positif terhadap ide, usul, atau saran yang diajukan maupun permasalahan yang dihadapi pegawai yang terkait dengan pekerjaan.

d. Pada saat menjelang hari raya, para anggota DPR dilarang menerima bingkisan dalam bentuk apapun(pengendalian diri)
e. Pada saat ramadhan, pelaku bisnis mengadakan santunan kepada anak yatim (Pengembangan tanggung jawab sosial)
f. menciptakan sebuah perencanaan yang akan digunakan dalam memajukan dunia bisnis kedepannya(menerapkan konsep"pembangunan berkelanjutan")
g. Menaati segala peraturan yang telah ditetapkan perusahaan dan menjalankannya dengan sebaik mungkin (konsekuen dan konsisten dengan aturan mainyang telah disepakati bersama).

2.   1. Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan atau berkeinginan mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing (competitor).

Contoh:
Seorang karyawan disebuah perusahaan memeliki usaha dibidang penyedian bahan baku, dan kemudian karyawan tersebut berusaha menggantikan aktifitas pemasok lain dengan memasukkan pasokan bahan baku dari usaha yang dia miliki tersebut ke perusahaan tempat dia bekerja.

2. Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.

Contoh:
Ketika seorang karyawan mendapatkan tugas keluar kota dari perusahaan tempat dia berkerja dia memanfaatkan sebagian dari waktu tersebut untuk sekalian berlibur dengan anggota keluarganya.

3. Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family) atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut.

Contoh:
Seorang karyawan di suatu perusahaan memasukkan anggota keluarganya untuk dapat menempati suatu posisi di perusahaan tersebut tanpa harus melewati tahapan recruitment seperti para pencari kerja lainnya.

4. Segala posisi dimana karyawan dan pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh atau control terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada hubungan keluarga

Contoh:
Seorang manajer memberikan evaluasi hasil kerja yang baik terhadap anggota keluarganya yang bekerja di perusahaan itu juga, padahal kinerja dari anggota keluarganya itu tidak sesuai dengan hasil laporan yang dilaporkan oleh manajer tersebut.

5. Segala penggunaan pribadi maupun berbagai atas informasi rahasia perusahaan demi suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual barang milik perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia tersebut

Contoh:
Seorang karyawan disuatu perusahaan memberikan atau membocorkan rahasia perusahaan kepada temannya yang berkerja disuatu perusahaan yang bergerak dibidang usaha yang sama.

3.   Bisnis yg di jalankan dengan mengacu pada kepuasan antara pembeli(konsumen) dan juga produsen(penjual) dan juga tidak seenaknya dalam menjual barang
Contohnya: barang rusak di jual tapi di list barangnya memakai barang bagus
Karena sekarang perdagangan sudah bebas maka banyak perdagangan menggunakan internet nah disitu lah kita harus berpacu pada etika dan moral berbisnis
Contoh: jangan menipu customer dengan barang yg kita jual, jangan membohongi customer masalah harga,jangan me mark up harga terlampau tinggi.

Senin, 10 Oktober 2011

tugas softskill etika profesi akuntansi

1. BERILAH CONTOH PELANGARAN ETIKA DAN SANGSI HUKUM YG BERLAKU DI INDONESIA MIN 3
A. contoh kasus pelanggaran etika bisnis : maraknya peredaran makanan dengan zat pewarna berbahaya
Maraknya Peredaran Makanan Dengan Zat Pewarna Berbahaya
DEPOK - Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan Kota Depok menyebutkan, sebanyak tujuh pasar tradisional di Depok terbukti menjual bahan pangan yang mengandung zat berbahaya.Sebelum diuji, Dinkes mengambil sample di puluhan pedagang di pasar tradisional dengan menggunakan enam parameter bahan tambahan yaitu, boraks, formalin, rodhamin, methanil yellow (pewarna tekstil), siklamat (pemanis buatan), serta bakteri makanan.Kepala Seksi Pengawasan Obat dan Makanan Dinas Kesehatan Kota Depok, Yulia Oktavia mengatakan, enam parameter tambahan pangan berbahaya tersebut dilarang digunakan untuk campuran makanan lantaran akan menyebabkan penyakit kanker dalam jangka panjang serta keracunan dalam jangka pendek. "Harus nol sama sekali seluruhnya, karena sangat berbahaya bagi kesehatan." Ujar Yulia kepada okezone, Sabtu (3/10/2009).Yulia menambahkan, makanan yang dijual para pedagang di pasar dan terbukti menggunakan bahan tambahan pangan berbahaya di antaranya, mie basah, bakso, otak-otak, kwetiau, tahu kuning, pacar cina, dan kerupuk merah."Yang paling parah ada kerupuk merah atau kerupuk padang yang biasa digunakan di ketupat sayur, itu ada di lima pasar, dan terbukti menggunakan rodhamin atau pewarna tekstil," paparnya.Langkah selanjutnya, kata Yulia, pihaknya akan mengumpulkan seluruh pedagang untuk dibina mengenai keamanan pangan dan makanan jajanan sehat. Setelah itu, baru diterapkan sanksi hukum pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Keamanan Pangan. Sanksinya bisa berupa kurungan penjara.Tujuh pasar yang terbukti menjual pangan mengandung bahan tambahan pangan berbahaya diantaranya, Pasar Musi, Dewi Sartika, Mini, Sukatani, Cisalak, Kemiri Muka, dan Depok Jaya. Sebagian di antaranya, berasal dari produsen di daerah Depok maupun Bogor.
Keberadaan peraturan daerah (perda) tentang makanan dan minuman yang diperbolehkan dijual di kantin sekolah tidak menjamin hilangnya praktik-praktik ilegal penambahan zat campuran pada makanan anak-anak itu.Karena itu yang harus dikedepankan adalah penegakan payung hukum yang sudah ada. "Regulasi itu sudah ada, baik dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan menteri. Yang perlu adalah penegakan hukumnya," ujar Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail di Depok, Jawa Barat, Kamis (11/6/2009).Lontaran Nurmahmudi merupakan respons atas wacana perlunya dibuat perda khusus tentang jajanan di sekolah lantaran maraknya praktik penambahan bahan tambahan makanan yang berbahaya dalam jajanan sekolah. Nurmahmudi menjelaskan, Menteri Kesehatan pada tahun 1987 telah mengeluarkan peraturan tentang bahan-bahan yang boleh digunakan sebagai bahan makanan tambahan. Karena itu, pemerintah tinggal melakukan pembinaan kepada produsen maupun konsumen.Yang menjadi tantangan, tambah Nurmahmudi, adalah melakukan pengawasan terhadap para produsen. Jika industri makanan tersebut legal, dalam artian alamat pabriknya jelas dan memiliki izin usaha, maka pemerintah bisa dengan mudah melakukan pembinaan. "Yang jadi masalah kalau produk itu tidak berlabel, tidak beralamat, maka perlu kerja keras dari berbagai pihak," katanya.Ke depannya, Nurmahmudi berjanji pemeriksaan jajanan di Depok tidak hanya terbatas pada jajanan anak SD saja. Tapi juga akan merambah kantin-kantin di perkantoran. "Untuk sementara kita pilih anak SD karena ini bagian dari upaya menyelamatkan generasi ke depan," jelasnya.Dinas Kesehatan Depok beberapa hari lalu melakukan pengambilan sampel jajanan ke 30 kantin SD di Kota Depok. Hasilnya 30 persen sampel positif mengandung boraks, 16 persen mengandung formalin, tiga persen mengandung siklamat, metanil yellow, dan rodamin. Untuk bahan boraks umumnya ditemukan pada produk krupuk putih, bakso, dan nuggets.Sementara zat formalin ditemukan pada nugget dan mie. Zat siklamat yang jumlahnya melebihi takaran ada pada produk es sirup dan es mambo. Untuk zat metanil yellow (pewarna kuning) dan rodamin (pewarna merah) atau yang lebih dikenal sebagai pewarna tekstil ditemukan pada permen karet.
( sumber : OkeZone.com )

B. Sudah pernah dengar tentang blog? Bahkan mungkin sudah tidak asing lagi dengan blog karena sehari-hari sudah menggunakan blog. Penyalahgunaan blog juga merupakan bentuk pelanggaran etika dan moral. Seperti pada berita berikut :
Banyak blogger yang ditangkap dikarenakan pembongkaran kasus seperti kasus HAM, mengkritik pemerintah.  Sejak tahun 2003 sebanyak 64 blogger telah ditangkap karena pandangan mereka, kata Universitas Washington dalam laporan tahunan. Pada tahun 2007 sebanyak 36 blogger juga ditangkap karena menulis tentang dunia politik pada tahun 2006.
Lebih dari setengah penangkapan terhadap blogger sejak tahun 2003 dilakukan oleh Negara China, Mesir, Iran. Warga Negara sudah ditangkap dan dipenjara karena blogging dengan topik berbeda, kata World Information Access (WIA).
Blogger yang ditangkap karena membongkar korupsi dalam pemerintahaan, penyalahgunaan HAM. Mereka mengkritik kebijaksanaan politik. Dilaporkan bahwa penangkapan cenderung ditingkatkan terutama pada waktu “ketidakpastian politis”, seperti pada waktu pemilihan umum dan protes besar-besaran.
Blogger yang ditangkap rata-rata dihukum dengan 15 bulan penjara, sedangkan hukuman terlamanya adalah 8 tahun yang ditemukan WIA. WIA mengakui bahwa jumlah blogger yang ditangkap bisa jauh lebih tinggi jumlahnya karena susah memverifikasi jika terjadi penangkapan terhadap blogger. Sebagai contoh panitia yang bertugas melindungi blogger telah memberikan informasi sekitar 344 orang ditangkap di Myanmar. Kebanyakan dari mereka diperkirakan adalah blogger, tetapi WIA tidak dapat memverifikasi semua laporan tersebut.
Tercatat lebih dari 30 negara memaksakan pembatasan teknologi pada orang-orang termasuk blogger. Di Negara China orang-orang dipersulit dalam pembuatan blog sebagai alat protes. Laporan menujukan bahwa tidak hanya pemerintah di timur tengah dan timur asia yang sudah bertindak berlawanan dengan pendapat online mereka.
Dalam empat tahun terakhir Britania, Prancis, Kanada dan Amerika terdapat penangkapan terhadap blogger. Laporan memperkirakan banyak blogger yang ditangkap pada tahun 2008 akan melebihi jumlah 36 pada tahun 2007.
Sumber berita tentang penangkapan blogger pada  tulisan ini : Andi Gunawan,FTI – Universitas Atma Jaya

C. Dasar-dasar Etika Periklanan – Bagian 2

Bagian ke 2 ini akan lebih fokus pada asas swakramawi yang dianut oleh masyarakat periklanan dunia. Akan diulas apa itu asas swakramawi (self-regulation) dan apa saja dampak/konsekuensi dari asa swakramawi tersebut.Tulisan ini mengacu pada isi dari kitab Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang dapat diunduh di www.p3i-pusat.com.

Pertanyaan-pertanyaan yang sering penulis terima pada saat membahas masalah etika periklanan antara lain adalah:
  1. “OK, bagus sudah ada panduan etika dalam industri periklanan, tapi kok mengapa masih banyak iklan yang melanggar ya?”
  2. “OK, saya sudah tahu ada panduan etika periklanan, lalu kalau saya melanggarnya, apa sih sanksinya?”
  3. “Setahu saya, kalau melanggar etika itu ya paling sanksinya cuma sanksi sosial kan? Apakah itu efektif?”
  4. “Mengapa panduan etika itu tidak dijadikan bagian dari peraturan pemerintah atau sekalian dijadikan Undang-Undang Periklanan sehingga orang akan lebih takut akan sanksinya?”
Dan mungkin masih banyak pertanyaan-pertanyaan senada lainnya. Bagian ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut, walaupun tidak secara runut. Pembahasan mengenai swakramawi (self-regulation) ini sangat penting artinya dalam memahami bagaimana kita (praktisi periklanan/pemasaran dan masyarakat pada umumnya) bersikap dalam menilai industri periklanan ini.

Pengertian Asas Swakramawi
Prinsip swakramawi (self-regulation) adalah prinsip yang dipakai secara universal dalam industri periklanan. Secara sederhana, swakramawi dalam industri periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa: “suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri.”
Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 4 (empat) alasan utama penerapan asas swakramawi tersebut:
(i)        Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka.
(ii)      Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bermasyarakat.
(iii)     Swakrama dapat meniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan.
(iv)    Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain.

Dalam salah satu teori Psikologi Sosial mengenai perkembangan kepribadian dan tingkat kedewasaan manusia dikenal istilah locus of control (diperkenalkan oleh Julian B. Rotter pada tahun 1954) yang pengertian ringkasnya adalah (dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Locus_of_control):
One's "locus" (Latin for "place" or "location") can either be internal (meaning the person believes that they control their life) or external (meaning they believe that their environment, some higher power, or other people control their decisions and their life).
Individuals with a high internal locus of control believe that events result primarily from their own behavior and actions. Those with a low internal locus of control believe that powerful others, fate, or chance primarily determine events.
Those with a high internal locus of control have better control of their behavior, tend to exhibit more political behaviors, and are more likely to attempt to influence other people than those with a high external (or low internal respectively) locus of control. Those with a high internal locus of control are more likely to assume that their efforts will be successful. They are more active in seeking information and knowledge concerning their situation.
Internals tend to attribute outcomes of events to their own control. Externals attribute outcomes of events to external circumstances. For example, college students with a strong internal locus of control may believe that their grades were achieved through their own abilities and efforts, whereas those with a strong external locus of control may believe that their grades are the result of good or bad luck, or to a professor who designs bad tests or grades capriciously; hence, they are less likely to expect that their own efforts will result in success and are therefore less likely to work hard for high grades. (It should not be thought however, that internality is linked exclusively with attribution to effort and externality with attribution to luck). This has obvious implications for differences between internals and externals in terms of their achievement motivation, suggesting that internal locus is linked with higher levels of Need for achievement.
Internals were believed by Rotter (1966) to exhibit two essential characteristics: high achievement motivation and low outer-directedness.

Mengacu pada teori locus of control di atas, berarti asas swakramawi adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan internal locus of control dalam industri periklanan. Pendekatan inilah yang dipercaya akan dapat mendewasakan industri ini dan sekaligus meningkatkan produktifitas dan “kedewasaan” industri ini.
Dalam konteks pengembangan internal locus of control ini, maka tugas utama kita yang berada dalam industri periklanan bukanlah memikirkan sanksi bagi pelanggar etika tapi lebih pada edukasi, sosialisasi dan koordinasi dari segenap komponen dalam industri periklanan.

Etika dan Hukum Positif
Masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui kaitan etika dengan hukum positif. Ke dua hal ini seringkali dilihat secara terpisah, padahal ke duanya sangat terikat erat satu sama lain. Secara teoritis, dilihat dari sisi luasnya cakupan, etika seharusnya selalu lebih luas cakupannya daripada hukum positif (ya, etika yang lebih luas, bukan hukum positif!). Hukum adalah himpunan bagian dari etika. Pengertiannya adalah: hukum positif adalah sesuatu yang dibuat karena pemerintah (hanya pemerintah/negara yang dapat menyusun hukum positif) bahwa pedoman perilaku yang ada pada etika dinilai perlu ditulis dalam suatu dokumen resmi negara berikut sanksi yang tegas. Dalam situasi ideal, hukum positif tidaklah mencakup semua aspek yang ada pada cakupan etika. Seseorang dapat saja tidak sejalan dengan etika tanpa harus otomatis dinilai melanggar hukum positif. Tapi, setiap pelanggaran terhadap hukum positif adalah otomatis merupakan tindakan yang tidak etis.
Contoh sederhana untuk menggambarkan hubungan etika dengan hukum positif: sebagai seorang dosen, penulis menggunakan celana pendek, kaos oblong dan sendal jepit saat mengajar. Perilaku tersebut pasti akan dinilai tidak etis oleh manajemen perguruan tinggi tersebut. Tapi tindakan tersebut pastinya tidak melanggar hukum positif manapun. Seorang dosen yang mengajar sambil merokok, padahal perguruan tinggi tersebut sudah menerapkan aturan pemerintah mengenai area bebas merokok berarti melanggar hukum positif sekaligus melanggar etika perguruan tingginya.
Dalam dunia periklanan, sangat disayangkan (pendapat pribadi penulis) bahwa kondisi teoritis antara etika dan hukum positif tersebut sudah sangat kacau balau. Banyak undang-undang di Indonesia yang mengacau balaukan antara area cakupan etika dan area cakupan hukum positif. Salah satu contoh yang dapat disajikan di sini adalah kutipan dari UU RI No. 8/1999, tentang Perlindungan Konsumen pasal 17 ayat 1 yang berbunyi: ”Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang  melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.”
Ya, pelanggaran etika periklanan di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum positif (dalam UU RI No. 8/1999 tercantum pada pasal 62 ayat 2 berupa ”pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)”).
Sebagai penganut swakramawi, kita pantas bersedih dengan kondisi ini karena aturan ini telah memindahkan locus of control industri periklanan dari internal menjadi eksternal! Pelanggaran etika iklan dapat dilihat bukan lagi sebagai ketakutan atas ketidak-dewasaan dirinya sendiri tapi lebih takut karena adanya sanksi hukum dari pemerintah.
Marilah kita ”mengabaikan” adanya aturan-aturan pemerintah mengenai periklanan tersebut dan mari kita lebih fokus pada pedoman etika (Etika Pariwara Indonesia) yang dibentuk oleh para praktisi pemasaran dan periklanan di Indonesia! Mari kita lebih fokus pada penegakkan etika karena kita harus tetap yakin bahwa hanya industri kitalah yang paling mengetahui kondisi industri kita ini dan hanya kitalah yang dapat meneggakkan aturan-aturan internal kita sendiri. Toh, secara otomatis, setiap pelanggaran terhadap hukum positif adalah tindakan yang tidak etis.
Dalam pemahaman ini, penulis berprinsip penyusunan Undang-Undang Periklanan adalah sama-sekali tidak relevan. Meskipun dalam penyusunan UU tersebut pihak industri akan dimintakan pendapatnya, tidak dapat dipungkiri, UU tersebut akan melibatkan stakeholders lain; yaitu kalangan politisi seperti berbagai pejabat di berbagai departemen kementerian, berbagai partai politik dan komisi di DPR. Industri kita tidak akan dapat sepenuhnya mengontrol apa yang diinginkan oleh para stakeholders di luar industri periklanan ini!
Dari sudut lain, penulis percaya bahwa setiap UU otomatis menimbulkan kondisi high-cost economy! Selain proses penyusunannya yang akan memakan banyak waktu dan biaya, penegakkannya juga pastinya akan menimbulkan biaya-biaya yang sebenarnya seluruh biaya-biaya tersebut dibebankan kepada masyarakat melalui iuran pajak mereka! Belum lagi emotional cost yang harus ditanggung industri ini karena harus melakukan kompromi-kompromi dengan pihak-pihak yang sebenarnya berada di luar industri periklanan.
Dapat pula dianalogikan bahwa ”semakin banyak hukum positif berarti negara itu semakin banyak masalah”. Dan bagi yang percaya bahwa ”hukum dibuat untuk dilanggar” berarti ”semakin banyak hukum, semakin banyak pelanggaran”. Uhhh!! Negara yang ”tidak banyak aturan” berarti dihuni oleh masyarakat madani (civil society) yang mempunyai kekuatan moral dan etika yang kuat!

Sanksi
Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia (dapat diunduh gratis di www.p3i-pusat.com) bagian IV.E. disebutkan beberapa sanksi; yaitu:
1.       Bentuk sanksi terhadap pelanggaran memiliki bobot dan tahapan, sebagai berikut:
1.1    Peringatan, hingga dua kali
1.2    Penghentian penyiaran atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan

Tidak ada sanksi hukum di sini! Apakah akan efektif? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya berpulang kepada diri kita masing-masing. Etika hanya punya satu ”senjata” dalam kaitannya dengan sanksi; yaitu: rasa malu dan rasa bersalah! Seseorang (atau industri) yang dewasa adalah mereka yang menyadari kesalahannya dan malu untuk mengulangi kesalahan itu kembali. Seorang anak kecil (belum dewasa) lebih membutuhkan rasa takut dari pihak-pihak luar (orang-tua, sekolah dan sebagainya) untuk mencegah ia melakukan hal yang salah. Bukankah seorang dewasa seharusnya lebih mempunyai internal locus of control? Jadi, penilaian kita terhadap kedewasaan industri inilah yang akan menentukan apakah sanksi tersebut akan efektif ataukah tidak.
Seringkali kita mengabaikan sanksi sosial/organisasi yang dianggap ”terlalu ringan”. Padahal contoh-contoh yang ada di sekitar kita membuktikan hal yang sangat bertolak-belakang. Penulis akan coba sampaikan beberapa contoh untuk membuktikan bahwa pelanggaran etika dengan sanksi sosialnya jauh lebih kuat daripada sanksi hukum manapun juga.
Kasus pertama adalah jatuhnya regim Soeharto. Apakah pada saat Pak Harto mengundurkan diri posisi beliau adalah sebagai ”terdakwa pelanggaran hukum”? Sejarah mencatat bahwa pada saat itu tidak ada pelanggaran hukum apapun yang ia lakukan! Lalu kenapa ia mundur? Tekanan moral dan etika dari masyarakat!
Kasus ke dua justru menampilkan situasi yang sebaliknya; kasus Koin Prita. Pada saat muncul gerakan masyarakat mendukung Prita Mulyasari (dengan Koin Prita), apakah Prita seseorang yang ”benar” di mata hukum positif? Tidak! Pada saat itu, Prita adalah seorang terdakwa dan bahkan seorang yang telah diputuskan bersalah oleh hukum positif sehingga dikenakan sanksi pidana (denda dan tahanan). Apakah Prita di mata masyarakat (yang melihat dari sudut moral dan etika) juga menilai ia melakukan kesalahan? Tidak! Dukungan terhadap program Koin Prita membuktikan hal tersebut. Bahkan karena tekanan moral masyarakat tersebut sanksi pidana Prita dapat dicabut.
Ya, etika dapat merubah hukum positif, bukan sebaliknya. Hal ini membuktikan kekuatan etika dan moral masyarakat. Gejolak politik yang terjadi saat ini di Afrika, Timur Tengah serta bebeberapa negara teluk memberikan kita bukti-bukti kekuatan etika dan moral terhadap kekuatan hukum. Seorang Hosni Mobarak yang telah berkuasa selama 30 tahun adalah identik dengan hukum di negara Mesir.

2. APA KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PAHAM FUDEMONISME BILA DI TERAPKAN DI ERA GLOBALISASI
Prinsip pokok faham ini adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu (1) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan, (2) kemauaan, (3) perbuatan baik, dan (4) pengetahuan batiniah. 
 kelebihannya: 
1.tidak mementingkan diri sendiri saja atau personal
2. bisa memakmurkan semua masyarakat
3. bisa membahagiakan semua orang tidak hanya individual saja
kekurangan
 1. harus memiliki kekuasaan dulu baru bisa menggunakan paham ini

3. SEBUTKAN ETIKA KHUSUS YG ADA DI MASYARAKAT MIN 5
Jika etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, maka etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Jadi, etika khusus itu menerapkan prinsip-prinsip dasar pada masing-masing bidang kehidupan manusia (Magnis-Suseno, dkk, 1991:7). Karena sifatnya "menerapkan", maka etika khusus ini bisa juga dikatakan sebagai "etika terapan".
Dengan etika terapan dimaksudkan etika yang mencoba mem­bangun jembatan antara prinsip-prinsip moral dasar yang masih cukup abstrak dan umum yang diberikan oleh etika umum dan penanganan masalah-masalah moral konkret dalam praksis kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Etika sendiri sebagai cabang ilmu filsafat atau teologi sebenarnya sudah merupakan ilmu yang men­yangkut praksis kehidupan. Akan tetapi sifat terapannya masih dapat lebih dipertajam lagi dengan mencoba -- berdasarkan infor­masi yang diperoleh dari ilmu-ilmu khusus yang tersangkut -- memberikan prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang lebih operasional (Sudarminta, dalam Susanto, dkk, ed., 1992:21).
. Jenis Etika

Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika social dibagi menjadi:
1) Sikap terhadap sesama
2) Etika keluarga
3) Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi
4) Etika politik
5) Etika lingkungan hidup
6) Kritik ideologi Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangkan moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika dengan moralitas.